..:::::...:::::>>>> sambungan dari atas ...
Mereka menuju suatu tempat agak jauh di balik gua batu payung di mana selama ini mereka berlatih dan digembleng.
Tempat itu sunyi sekali. Kegelapan menyelimuti tempat yang ditumbuhi oleh semak belukar dan bambu petung.
Suara burung malam membuat bulu kuduk berdiri.
Suaranya ditingkahi kepak sayap kelelawar dan jeritan suaranya yang mencericit bercengkerama dengan pasangannya. Di tempat itulah lelaki tua itu berhenti dan membalikkan tubuh memandang kedua muridnya yang sejak tadi hanya menunggu dengan diam.
"Bagi mereka yang tidak sedang belajar olah kanuragan, tempat tidur yang nyaman adalah sebuah kasur yang empuk, uang dipasang di atas ranjang kayu jati berukir.
Tapi bagi mereka yang ingin menguasai ilmu Seipi Angin, tempat tidur yang paling baik adalah sebatang petung, yang tingginya melebihi pohon kelapa.? "Ehh, maksud Guru?" tanya Wirot dengan dahi beranyam kerutan.
Tetapi lelaki tua itu tidak segera menjawab. Hanya desah napas dan kepalanya yang mengangguk-angguk. Bibirnya menyungging senyuman dan matanya menyipit.
Pandangannya beralih pada sebatang pohon bambu petung yang sudah tua dan setinggi pohon kelapa.
"Maksudku pergunakanlah sebatang bambu ini untuk tidur malam ini. Hmmh, masih belum jelas? Kalian berdua naik ke atas pohon bambu ini, sampai ke ujungnya yang paling tinggi. Nah, peluklah batang pohon bambu itu sambil berusahalah untuk tidur di atas sana.”
“Oh. Bagaimana... bagaimana itu mungkin, Guru?" tanya Wirot dengan nada cemas dan mohon pengertian.
Kemudian lelaki tua itu memandangWirot sangat tajam.
"Tak ada yang tak mungkin. Kalian coba saja dulu apa yang kukatakai ini. Kalau tak ingin jatuh, kalian tak boleh tidur terlalu lelap. Bagaimana, Kamandanu? Apalagi yang kau tunggu?”
“Ehh, ba... aaiklah, Paman. Saya akan menuruti perintah Paman Ranubhaya. Saya akan tidur di atas pucuk pohon bambu ini." Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Arya Kamandanu merayap menaiki sebatang bambu petung yang cukup besar.
Ia memanjat bagai seekor monyet. Cepat dan trengginas.
Kedua tangannya mencengkeram batang bambu, sedangkan kedua ujung jemari kakinya memanjat batang bambu itu jika tidak ingin terpeleset. SebaliknyaWirot masih bimbang.
Sejenak lamanya ia hanya diam mematung, terpaku memandang Arya Kamandanu yang sudah hampir mencapai pucuk petung.
Terdengar suara kerusek dan kerosak setiap kali tubuh Arya Kamandanu menyentuh daun-daun bambu itu. Ketika Arya Kamandanu sudah mencapai pucuk pohon petung itu, barulah Wirot perlahan-lahan memanjat pohon bambu petung itu. Berkali-kali ia berdecak kesal. Ia sama sekali belum mengerti apa yang dikehendaki Mpu Ranubhaya memintanya tidur di pucuk bambu. Untuk kesekian kalinya ia menganggap gurunya sangat aneh.
Pada pucuk pohon bambu petung itu, Arya Kamandanu mulai merasakan kantuk serta angin malam membuatnya cukup menggigil. Ia belum bisa memejamkan mata.
Hatinya semakin cemas dan berdebar-debar ketika matanya terbuka dan memandang ke bawah. Tetapi ia berusaha untuk menguatkan dan meneguhkan hatinya Demikian halnya dengan apa yang dialami oleh Wirot.
Jejaka tua itu tubuhnya sangat menggigil oleh kedinginan dan rasa cemas.
Keringat dinginnya mengalir dan membasahi seluruh tubuhnya. Ia benar-benar ketakutan sekali ketika kembali memandang ke bawah.
"Ohh, tinggi juga batang bambu ini. Oh, kalau jatuh ke bawah sana bisa remuk tulang-tulangku Apa maksud Guru memberi pelajaran seperti ini? Jangan-jangan Guru hanya main-main. Soalnya aku tahu watak guruku. Di samping suka angin-anginan, dia juga senang bercanda, senang bermain-main." Wirot menguap lebar karena kantuk menguasainya. Tapi ia tidak mungkin bisa tidur dengan cara seperti monyet di atas pohon. Ia juga merasakan kedua kakinya sudah kaku karena takut. Ia tak merasakan apa-apa lagi. Keringat dingin sudah membasahi pakaiannya. Ia makin cemas, takut dan khawatir jika jatuh. Ia ragu jika bisa bertahan di atas pohon sampai pagi. Ia mulai menggigil.
"Saya tidak sanggup. Saya, saya masih mau hidup." Wirot merasakan sesuatu yang hangat mulai mengalir, membasahi paha dan celananya. Sekujur tubuhnya benarbenar menggigil. Sedikit pun ia tidak bisa memicingkan matanya sekalipun perasaan mengantuk luar biasa menyerangnya. Bahkan ia tidak ada niat melanjutkan lakunya untuk mempelajari apa yang diajarkan gurunya.
Akhirnya, ia memutuskan untuk turun. Ia tidak mempedulikan petunjuk gurunya yang kini tak ada di bawah. Wirot benar-benar semakin jengkel pada Mpu Ranubhaya. Napasnya terengah-engah saat kakinya menginjak tanah. Ia menghela napas sedalam-dalamnya kemudian dihempaskannya napas itu dengan menggelembungkan kedua pipinya. Kedua tangannya mengurut dada, kepalanya menggeleng-geleng dan rasa pening mulai merayapi keningnya. Jejaka tua itu sesaat memandang ke arah Arya Kamandanu yang kelihatan berusaha tidur di pucuk pohon bambu petung. Ia tersenyum karena pemuda itu pun kelihatan gelisah.
Wirot akhirnya melangkahkan kakinya menuju dalam gua setelah mengibas-ngibaskan pakaiannya yang berbau pesing. Ia yakin gurunya diam di dalam gua untuk bersemadi.
Suasana di dalam gua batu payung itu sangat gelap gulita. Pelita minyak yang biasa tergantung di dinding sudut gua tidak menyala. Wirot yakin, bahwa gurunya sengaja mematikan pelita itu untuk mendukung suasana semadinya.
Suara tetes-tetes air terdengar mengerikan dalam pendengaran Wirot. Baru saja ia akan membaringkan tubuhnya pada sebuah lempengan batu pipih selebar meja yang terdapat dalam ruangan gua itu, ia sangat terkejut.
Terdengar suara gurunya menegurnya.
"Bagaimana, Wirot? Mengapa kau turun? Apakah kau sudah tidur terlelap di atas tempat tidurmu?”
“Ehh, ampun Guru. Saya tidak sanggup.”
“Ahh, Wirot. Kau adalah satu-satunya muridku yang sudah kuanggap sebagai anakku sendiri Sekarang aku tahu, mengapa aku tidak mewariskan ilmu yang lebih tinggi selain pukulan dua belas jurus.”
“Mungkin, mungkin Guru menganggap saya kurang berbakat.”
“Yah. Ilmu yang tinggi harus diimbangi dengan wadah yang memadai. Sebab kalau tidak, orang yang bersangkutan bisa menjadi korban ilmu tersebut. Ilmu tidak bisa dipaksakan. Di samping itu ilmu cocok-cocokan dengan orangnya.”
“Ehh, maaf, Guru. Saya masih belum mengerti mengenai Aji Seipi Angin ini. Ehh, maksud saya, mengapa harus melalui tidur di atas pohon bambu segala? Apa hubungannya dengan meringankan tubuh?”
“Dengan kata lain, kau masih meragukan apa yang kukatakan? Nah, mari ikutlah aku. Kau nanti akan melihat sendiri, bagaimana ampuhnya kekuatan yang ditimbulkan dalam diri manusia, yang mampu mengatasi ujian berat di atas pucuk pohon bambu." Kemudian lelaki tua itu bangkit tanpa memperhatikan lagi Wirot yang meringis karena risih dengan celananya yang basah kuyup oleh keringat dingin dan air kencing.
Mpu Ranubhaya yang sudah terlatih dengan suasana kegelapan dalam gua itu melangkah dengan tenangnya. Ia lalu membawa Wirot ke tempat di mana Arya Kamandanu masih tergantung di atas pucuk pohon bambu.
Dari bawah tampak Arya Kamandanu bagaikan seekor kalong yang besar, yang terperangkap jaring seorang pemburu.
Malam semakin mencekam. Gemerisik angin yang mendera daun-daun bambu terdengar bagaikan tangisan hantu-hantu malam.
Wirot mengikuti gurunya ketika lelaki tua itu memandang ke pucuk bambu petung di mana Arya Kamandanu masih menggelantung di sana.
"Ohh, luar biasa Angger Kamandanu. Dia masih mampu bertahan di pucuk pohon bambu," gumamMpu Ranubhaya seperti pada diri sendiri. Lalu ia memandang Wirot yang berdiri seperti tikus di depan kucing.
"Ketahuilah, Wirot! Anak Hanggareksa ini mempunyai bakat besar di dalam hal olah kanuragan “
“Saya khawatir dia nanti terjatuh, Guru. Saya sendiri merasakan betapa beratnya ujian ini. Kaki saya sampai kehilangan rasa, tangan-tangan saya seperti kejang!”
“Sudahlah, Wirot. Nanti akan kausaksikan sendiri sebuah tontonan keajaiban yang langka. Tapi kalau kau sekarang ingin tidur, tentu kau tak akan melihatnya." Kemudian lelaki tua itu membisu seribu bahasa sambil memandang Arya Kamandanu yang menggelantung di pucuk pohon bambu.
Wirot yang memandang pun merasa merinding bulu kuduknya karena ia sendiri tidak kuat menahan ujian yang sangat berat seperti itu.
Terdengar kerusek dan kerosak binatang malam mendera dan menyibak dedaunan bambu disusul dengan suaranya yang menyayat mengerikan.'Hal itu mengejutkan Arya Kamandanu yang berusaha mati-matian memerangi kekejangan kaki dan tangannya. Tangan dan kakinya semutan dan benar-benar mati rasa. Ia pun merintih sambil perlahan membuka kelopak matanya.
"Ohh, kakiku... kakiku sudah mengejang semuanya.
Mengejang sampai ke jari-jari kaki Ohh... apakah aku akan bisa lulus dari ujian berat ini? Bagaimana kalau aku sampai terlelap? Tentu tubuhku akan hancur berantakan di bawah sana." Mata Arya Kamandanu sudah terasa berat dan pedih. Matanya ingin menutup saja. Berat sekali ia rasakan membuka kelopak mata. Ia menggigil dan tubuhnya gemetar.
Bagaimanapun juga Arya Kamandanu mencoba untuk bertahan, akhirnya terlena juga. Seperti terkena panah Aji Sirep yang dahsyat, mendadak Arya Kamandanu merasa terlelap, dengan kelopak matanya tetap terbuka, tapi kedua belah tangannya terlepas. Tubuhnya terperosok seiring bunyi kerosak panjang. Tubuh pemuda itu melayang-layang di udara sebelum akhirnya terhempas dan tercampak di semak belukar dan tanaman liar.
Wirot matanya melotot penuh kecemasan lalu ia berlari menghampiri tubuh Arya Kamandanu yang tergeletak di semak-semak. Mulutnya setengah menganga sambil memekik memanggil Mpu Ranubhaya yang belum bergeming dari tempatnya berdiri.
"Guru, Guru, bagaimana dengan Angger Kamandanu?!" serunya dengan suara parau karena cemas dan ketakutan.
@@@
Bersambung ke Novel TUTUR TINULAR 4 - Lembah Berkabut (1)